Luthfi Bashori
Wara adalah sifat kehati-hatian yang luar biasa dan tidak adanya keberanian untuk mendekati sesuatu yang haram, bahkan terhadap hal-hal yang sifatnya ragu-ragu alias syubhat.
Dalam hal ini, Nabi Saw bersabda: Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Sedangkan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar (syubhat), dan tidak diketahui oleh banyak orang; siapa saja yang menjauhi syubhat tersebut, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan siapa saja yang terjerumus ke dalam perkara yang syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam yang haram. Ibarat seorang penggembala yang menggembala di seputar pagar kebun larangan, di mana hampir saja gembalanya memakan tumbuhan yang ada di dalamnya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap raja memiliki pagar larangan. Ketahuilah bahwa pagar larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging; bila ia baik, maka baiklah seluruh jasad dan bila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, bahwa ia adalah qalbu/hati. (Muttafaqun alaih).
Dalam hadits lain Nabi Saw bersabda:
Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu.
Dewasa ini, semakin banyak di antara umat Islam yang terlibat praktek riba, atau bisnis yang tidak berstandar syariat, atau tipu menipu dalam dunia pekerjaan, bahkan telah terjadi praktek jual beli suara baik dalam perhelatan partai politik dan kekuasaaan, maupun rebutan jabatan dalam kepengurusan ormas dengan mengunakan sistem money politik, termasuk juga merebak praktek penyerobotan harta atau fasilitas yang bukan menjadi haknya dalam dunia pendidikan.
Praktek-praktek semacam di atas ini, tentunya telah jauh dari bimbingan Rasulullah SAW maupun keteladanan wara yang dulu dicontohkan oleh para ulama salaf, sebut saja apa yang telah diperagakan oleh Sy. Abu Bakar As-Shiddiq
Aisyah berkata, Sy. Abu Bakar memiliki seorang budak yang bertugas mengumpulkan keuntungan dari usaha-usaha bagi hasilnya. Dari hasil itulah Sy. Abu Bakar makan. Pada suatu kali budak itu datang membawa makanan dan Sy. Abu Bakar pun memakannya.
Lantas berkatalah budak itu kepada Sy. Abu Bakar: Tahukah engkau apa yang sedang engkau makan itu?
Apa ini? tanya Sy. Abu Bakar.
Ketika di masa jahiliyah dahulu, aku menjadi paranormal untuk seseorang, padahal aku tidak mengerti perdukunan dan hanya membodohinya. Dia pun memberiku imbalan, yang sedang engkau makan itu termasuk hasil dariya.
Segera saja Sy. Abu Bakar memasukan jarinya ke dalam mulut dan memuntuhkan segala yang telah masuk perutnya. (HR. Bukhari. Dalam kitab Manaqibul Anshar bab Ayamul Jahiliah no.3842.
Lihat juga kitab Al-Wara oleh Al-Mawarzi, Siapa yang curiga terhadap makanan syubhat (meragukan), hendaknya memuntahkannya. Hal 90 dan sesudahnya).
Dalam sebuah riwayat dikatakan, budak itu kemudian mengatakan kepada Sy. Abu Bakar, Sungguh apa yang engkau lakukan itu bisa menyebabkan engkau sakit.
Sy. Abu Bakar menjawab, Seandainya untuk mengeluarkan makanan ini taruhannya adalah nyawa, aku rela nyawaku keluar asalkan makanan ini keluar dari perutku.