URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 11 users
Total Hari Ini: 58 users
Total Pengunjung: 6224159 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI
 
 
 
Penulis: Pejuang Islam [ 2/9/2016 ]
 
"NU " SUDAH LURUSKAH?

Muhammad Hasan Abdul Muiz


Baru-baru ini muncul sebuah istilah baru yang beredar dikalangan NU. Istilah tersebut adalah, NU . Jika kita cermati konten "kampanye" dan kalangan yang menyuarakannya, istilah NU ini muncul karena kekecewaan dan keresahan mereka terhadap sebagian oknum petinggi NU yang dinilai melenceng dari NU yang sebenarnya, dan menyimpang dari Qonun Asasi NU yang disusun oleh pendiri NU, Mbah Hasyim Asy`ari.

Siapapun yang mengamati dan berkecimpung dalam dunia NU pasti mengakui adanya Syiahisasi dan Liberalisasi di tubuh NU yang berlangsung sampai akhir-akhir ini. Pelaku Syiahisasi dan Liberalisasi sendiripun ?menurut hemat saya? pasti juga mengakui bahwa memang ada usaha kesana. Perbedaannya mungkin terletak pada persepsinya. Kalau bagi pelaku Syiahisasi dan Liberalisasi di tubuh NU, usaha mereka itu mungkin mereka anggap sebagai bentuk aplikasi tawassuth-nya NU. Sementara bagi yang kontra, Syiahisasi dan Liberalisasi di tubuh NU dianggap sebagai usaha untuk mengotori NU.

Warga NU yang menentang Syiahisasi dan Liberalisasi dalam tubuh NU itulah kemudian membuat istilah baru, NU , sebagai sarana dan tempat untuk menyampaikan aspirasinya demi menyelamatkan NU dari ideologi yang tidak sesuai dengan ajaran Hadratus Syaikh Hasyim Asy?ari.

Dan yang perlu untuk digaris bawahi disini, bahwa sebetulnya yang mengalami keresahan itu bukan hanya yang gencar menyuarakan istilah NU semisal, KH. Luthfi Bashori, KH. Najih Maimun, KH. Idrus Romli, dkk. Tetapi dibelakang mereka sebenarnya ada ribuan Kiyai NU yang telah merasakan keresahan tersebut. Kalau kita mau turba ke pesantren-pesantren, terutama sekali yang ada di Jawa-Madura pasti kita akan merasakan dan mendengar keluhan-keluhan dan kekhawatiran itu. Hanya saja, kiai-kiai di pesantren ini memang tidak terbublikasi aspirasi dan pikirannya di media umum.

Berulang kali al-Faqir utarakan, adalah kekeliruan besar jika dikatakan bahwa sebetulnya yang khawatir akan merebaknya Syiah dan Liberalisme dalam tubuh NU hanya segelintir orang NU saja, dan bukan suara kebanyakan ulama NU. Bila ada yang tetap memaksa dengan mengatakan bahwa yang resah hanya segelintir dari warga NU, berarti dia tidak pernah turba ke pesantren-pesantren atau dia mungkin penganut "`anzatun wa in throt".

Jadi, sudah tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan umat NU dewasa ini khawatir terhadap menyeruaknya Syiahisasi dan Liberalisasi di tubuh NU. Hanya bedanya kalau beliau-beliau yang kami tulis namanya di atas gencar menyuarakan keresahannya lewat tulisan melalui berbagi macam media, adapun ribuan Kiyai yang lain lebih memilih untuk "mencurhatkannya" kepada Allah saja.

Namun pertanyaannya, benarkah istilah NU itu? benarkah NU bengkok sehingga perlu diluruskan?

Untuk menjawab pertanyaan ini tentu terlebih dahulu harus kita bahas secara detil apa maksud istilah "NU " itu. Sebab kata ulama ushul "Al-hukmu ala as Syai-i far`un `an tashowwurihi".

Menurut kami, jika yang dimaksud NU adalah mau meluruskan ajaran-ajaran KH. Hasyim Asy`ari dan ulama-ulama lain yang merupakan pendiri NU karena ada dari ajaran mereka yang perlu diluruskan, maka saya kira istilah tersebut kurang benar. Dan kalau masih saja ada yang memaksakan kehendak untuk menggunakan istilah NU dengan maksud seperti ini, maka ?menurut saya? berarti orang tersebut bukan orang NU, dan lebih baik cari istilah lain yang tidak memakai kata NU.

Tetapi, jika diamati dari diskusi kami dengan kalangan yang menyuarakan istilah NU , tampaknya bukan maksud seperti di atas tadi itu yang mereka inginkan.

Kalau yang dimaksud NU adalah untuk menjernihkan dan meluruskan NU sehingga tetap pada rel yang sudah dibuat oleh Mbah Hasyim Asy?ari yang dewasa ini sudah mulai ada yang berupaya membelokkannya ke arah yang lain, maka saya kira hal itu sah-sah saja. Yang seperti ini hampir sama dengan penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama`ah yang kalau kita amati sejarahnya, dimunculkan sebagai pembeda dan penyelamat Umat Islam, ditengah-tengah ramainya usaha untuk meng "Qodariyah" kan dan men "Jabriyah" kan Islam dan Umat Islam.

Sejauh yang kami tangkap dari berbagai diskusi kami dengan para pegiat NU , tujuan dan maksud seperti inilah yang diinginkan mereka. Sehingga, sah-sah saja mereka menggunakan istilah tersebut.

Yang aneh, banyak kalangan yang menentang istilah NU ini justru dari kalangan-kalangan pegiat Liberalisasi yang setiap harinya menyuarakan kebebasan berpendapat. Ketika mereka mengkritik istilah NU disertai penjelasan "masing-masing boleh berpendapat" kemudian setelah itu silahkan mengkonter, saya kira jika mereka melakukan demikian, maka berarti mereka sportif.

Namun sejauh yang saya cermati, para pegiat Liberalisme tidak fair ketika mengkonter istilah NU ini. Dimana kalau kita baca ditulisan-tulisan mereka, sama sekali tidak ada kesan menghargai kebebasan berpendapat. Bila kita membaca tulisan-tulisan mereka yang mengkritisi istilah NU ada satu kesimpulan yang akan kita dapatkan adalah: "pokoknya siapa yang menggunakan istilah NU dan pegiatnya berarti bukan NU". Disinilah kami menangkap ada ketidakj-jujuran.

Memang (ini hanya sebagai istithroth dalam tulisan ini) wa bilkhusus di Indonesia banyak dari kalangan yang seringkali menyuarakan kebebasan berpendapat, tetapi ketika tidak sependapat dengan sebuah pendapat dan akan mengkritisi pendapat orang lain yang tidak dia sepakati itu, kadang-kadang mereka terjebak kepada tidak menghargai pendapat orang lain.

Sebuah contoh, permasalahan yang baru-baru saja hangat diperbincangkan, yaitu masalah membaca al Quran dengan langgam Jawa. Adalah Musthofa Bisri atau yang akrab dipanggil Gus Mus, sebagai sosok yang setiap harinya getol menyuarakan kebebasan berpendapat yang kebetulan dia pro al Quran langgam Jawa, namun alangkah naifnya ketika kami membaca komentarnya. "Islam Kagetan. Termasuk ciri-ciri orang memiliki ilmu yang nyegoro (luas laksana lautan) salah satunya adalah tidak kagetan. Bukan seperti ini: ada al Quran langgam jawa kaget.....", begitu tulisnya.

Menurut saya, ini adalah contoh sikap yang tidak fair. Meskipun saya termasuk yang tidak mempermasalahkan langgam Jawa asal tidak merubah tajwid dan makhrajnya, tetapi seharusnya Gus Mus tidak menuduh yang tidak pro al Quran langgam Jawa dengan tuduhan dangkal pengetahuannya (sebagai mafhum mukholafah dari tidak nyegoro ilmunya), juga tidak menyematkan predikat yang berkonotasi negatif kepada mereka yang anti al Quran langgam jawa dengan predikat "Islam Kagetan".

Sungguh yang seperti ini merupakan langkah yang tidak sportif dari seorang yang getol mengkampanyekan kebebasan berpendapat. Seharusnya Gus Mus sebagai sosok yang getol menyuarakan kebebasan berpendapat juga menghormati yang berbeda pendapat dengannya. Bukan malah dicap Islam Kagetan. Kalau memang mau fair, seharus Gus Mus membawa perbedaan pendapat tersebut kepada ranah kebebasan berpendapat.

Kembali kepada pembahasan NU . Lebih parahnya lagi, kadang-kadang ketika mengkonter istilah NU mereka keliru didalam perhujjahan dan hanya asbun (asal bunyi) saja. Sebuah contoh, komentar dari Ulil Abshar ketika dia mengkritisi istilah NU , kata dia, NU tidak perlu diluruskan. Kalau NU Lurus justru bukan NU namanya. Karena -masih kata Ulil- filosofi NU itu seperti tali yang dalam lambang NU. Dia lentur, tidak kaku.

Menurut saya, komentar dari Ulil Abshar ini keliru alamat dan asbun (asal bunyi) saja. Karena sebenarnya, lambang NU itu -menurut saya- justru lebih identik dan lebih memihak kepada NU . Hujjahnya justru ada pada lambang NU, terutama tali yang melingkar pada lambang tersebut. Karena siapapun tahu (dan silahkan lihat pada Anggaran Dasar NU) bahwa sembilan bintang yang ada pada lambang NU merupakan perlambang Rasulullah dan al Khulafa`ul Arba`ah, sementara empat bintang sisanya merupakan perlambang al Madzahibul Arba`ah. Yang kesemuanya itu dilingkari dengan tali. Juga bintang sembilan tersebut merupakan perlambang wali sembilan. Maka, dari sinilah -menurut kami- justru lambang itu berpihak kepada NU .

Dari lambang NU dapat kita simpulkan bahwa NU adalah organisasi yang sangat menghargai al Khulafa`ul Arba`ah, itu artinya berarti NU sangat bersimpangan dan tidak bisa menerima Syiah sebagai madzhab yang tidak menerima Abu Bakar, Umar dan Utsman, bahkan mengkafirkannya. Juga, NU adalah berpedoman kepada al Madzahibul Arba`ah. Artinya, lagi-lagi NU tidak menerima Syiah. Kesemuanya itu diperkuat bahwa sembilan bintang dalam lambang NU diakhiri dengan dilingkari tali sembilan puluh sembilan simpul. Demi menegaskan bahwa NU tidak menerima selain yang dalam tali tersebut.

Sekali lagi, kalau kita mau berhujjah dengan lambang NU, justru itu memihak kepada NU yang termasuk kampanyenya memurnikan NU dari terkontaminasi ajaran dan oknum Syiah. Dan tidak memihak kepada NU nya Ulil dan kawan-kawan, yang notabene mengakomodir Syiah sekalipun.

Audan ilal waro`. Jadi, menurut saya jika yang dimaksud dengan istilah "NU " adalah menjernihkan, mengawal dan meluruskan NU sehingga tetap pada rel yang sudah dibuat oleh Mbah Hasyim yang dewasa ini sudah mulai ada yang berupaya membelokkannya ke arah yang lain, maka saya kira hal itu sah-sah saja. Sekali lagi, Yang seperti ini hampir sama disaat salafunas sholih mencetuskan istilah Ahlus Sunnah Wal Jama`ah yang kalau kita amati sejarahnya, dimunculkan sebagai pembeda dan penyelamat Islam yang betul-betul jernih, ditengah-tengah ramainya usaha untuk meng "Qodariyah" kan dan men "Jabriyah" kan Islam. Padahal sebenarnya Islam sebetul-sebetul Islam ya Islam. Dimunculkan istilah Islam Ahlus Sunnah wal Jama`ah untuk menyelamatkan Umat Islam dari Qadariyahisasi dan Jabariyahisasi.

"Rabb fasluk bin sabla rijlin
Salak fit tuq thorqon sawiyyah".

Jember 28 Ramadlan 1436 H.

Penulis adalah khadimu Ma`had as-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, Bondowoso. Alumni Masyru` Abuya as-Sayyid Ahmad al-Maliki, angkatan 2006-2013.
   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
 
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
 
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam