AMIL & PANITIA ZAKAT
Luthfi Bashori
Sudah banyak kalangan yang menerangkan perbedaan antara amil zakat dan panitia zakat. Perbedaan keduanya memang sangat tipis, hingga banyak pelanggaran yang terjadi di tengah masyarakat, khususnya jika datang bulan suci Ramadhan, dimana terdapat pelaksanaan zakat fitrah di dalamnya.
Demikian juga kebiasaan baik para pembayar zakat maal yang yang ingin mendapatkan keberkahan bulan puasa, hingga ramai-ramai mereka menyalurkan zakatnya di bulan Ramdhan pula.
Di antara yang dibahas oleh para pakar tentang perbedaan Amil zakat dengan Panitia zakat yang penting untuk diketahui masyarakat antara lain sebagai berikut:
Imam Syafii mendefinisikan Amil sebagai orang yang bekerja mengurusi zakat, sedang dia tidak mendapat upah selain dari zakat tersebut.
Madzhab Syafi merumuskan Amil sebagai berikut:
Amil zakat yaitu orang-orang yang dipekerjakan oleh Imam (pemerintah) untuk mengurus zakat. Mereka adalah para karyawan yang bertugas mengumpulkan zakat, menulis (mendatanya) dan memberikan kepada yang berhak menerimanya.
Dimasukkannya Amil sebagai Asnaf menunjukkan bahwa zakat dalam Islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas negara).
Zakat punya anggaran khusus yang dikeluarkan darinya untuk gaji para pelaksananya.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang pengelola Zakat atau Amil zakat adalah:
1. Muslim.
2. Mukallaf.
3. Jujur.
4. Memahami hukum-hukum zakat.
5. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya
6. Laki-laki.
6. Sebagian ulama mensyaratkan amil itu orang merdeka bukan seorang hamba.
Dengan bunyi definisi amil zakat adalah orang yang diperkerjakan oleh imam/pemerintah (di Indonesia diwakili pihak Depag dan jajarannya), untuk mengambil zakat kemudian membagikannya kepada para mustakhiq zakat, maka dapat kita fahami jika ada perorangan, kelompok, lembaga di tengah masyarakat seperti ormas, takmir masjid dan sebagainya, yang membuat amil zakat, maka tidak sah (dikatakan amail zakat) sebab tidak diangkat oleh imam (pemerintah). Sebenarnya yang demikian cukup dinamankan Panitia Zakat.
Panitia zakat ini hukumnya tidak boleh mengambil bagian dari zakat fitrah sebab tidak termasuk delapan golongan yang disebut didalam QS. At Taubah 60.
Panitia zakat posisinya sebagai wakil (orang yang diberi wewenang menyampaikan zakat fitrah) dari muzakki (orang yang berzakat) yang disebut Muwakkil, oleh karena adanya wakalah maka si panitia tidak boleh sama sekali mengambil, menjual beras zakat fitrah. Tetapi harus menyampaikan benar-benar kepada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat fitrah).
Maka praktek sebagian panitia zakat yang mengambil sebagian beras zakat fitrah yang belum dibagikan ke mustahiq dalam bentuk menjualnya kemudian digunakan konsumsi panitia, membeli plastik kresek, dan sebagainya, yang digunakan untuk kelancaran panitia adalah bentuk pengkhianatan dan kedhaliman wakil atas barang yang dititipkan padanya dan hukumnya dosa serta wajib mengantinya.
Namun panitia zakat yang ikhlas menjalankan fungsinya sebagai wakilnya umat Islam untuk menyalurkan zakat mereka, tanpa tendensi ingin mendapat bagian zakat yang dikumpulkannya itu, maka pahalanya sangat berlipatganda.
Sy. Abu Hurairah RA menyampaikan, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, Usaha yang paling baik adalah usaha seseorang yang mengurusi zakat, jika ia lakukan dengan ikhlas. (HR. Muslim)
Sy. Rafi bin Khajid RA bercerita bahwa ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, Seseorang yang mengurusi zakat dengan benar karena Allah, maka ia sama dengan orang yang berperang di jalan Allah sampai ia pulang ke keluarganya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi.
Sedangkan ancaman bagi amil maupun panitia yang menyelewengkan zakat, dosanya juga sangat besar.
Sy. Uqbah bin Amir RA menyatakan, Nabi Muhammad SAW bersabda, Tidak akan masuk sorga amil (atau panitia) yang mengambil jatah sepuluh persen. (HR. Abu Dawud).
Sy. Abdullah bin Buraidah mendengar dari bapaknya, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, Barang siapa yang meminta kami menjadikannya amil untuk suatu pekerjaan, telah kami tetapkan untuknya memperoleh uang sejumlah tertentu. Maka jika ia mengambil lebih dari belanja tersebut, berarti ia telah melakukan korupsi. (HR. Abu Dawud).