URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 7 users
Total Hari Ini: 317 users
Total Pengunjung: 6224438 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
PERSEPSI MASYARAKAT ATAS WACANA MAYAT DAN KEMATIAN DALAM DRAMA SERI RELIGI (DSR) DI TELEVISI 
Penulis: Yusuf Hanafi  [23/6/2009]
 




                    PERSEPSI MASYARAKAT ATAS WACANA MAYA  DAN KEMATIAN 
                                 DALAM DRAMA SERI RELIGI (DSR) DI TELEVISI

                                                                 Yusuf Hanafi

ABSTRACT

The audience enthusiasm to the religious serial drama (RSD) proved by result survey of AC Nielsen becomes one of the reasons why this research is important to be conducted. The question is why anomalies related to the corpse and death are interesting to be watched? Another thing which is also important to be researched is its implication to the society belief, either in the individual context or in the family and society context. This research is aimed to analyze the significant effects of RSD. The effects are going to be investigated through society perception as the consumer of television mystic program. The perception issues are discussed because perception is closely related to someone behavior. 

KEY TERMS

Television Mystic Program, Religious Serial Drama (RSD)

Tayangan-tayangan religius di televisi Indonesia mengindikasikan adanya internalisasi nilai-nilai agama yang disuguhkan melalui dunia hiburan (entertainment), seperti sinetron, drama seri, dan acara-acara lain yang sejenis. Fenomena ini dimulai oleh TPI lewat Rahasia Ilahi, yang terinspirasi oleh buku Madarijus Salikin—yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyah. Program ini berhasil menarik perhatian pemirsa. Stasiun televisi lainnya kemudian ramai-ramai memproduksi acara yang serupa. SCTV dengan Astaghfirullah dan Kuasa Ilahi, LATIVI dengan Azab Ilahi, Padamu Ya Rabb dan Sebuah Kesaksian, RCTI dengan Tuhan Ada di Mana-mana, ANTV dengan Azab Dunia dan Jalan ke Surga, TV7 (sekarang Trans7) dengan Titik Nadir. Selain Rahasia Ilahi, TPI juga memiliki Takdir Ilahi, Allah Maha Besar, dan Kehendak-Mu.

Acara-acara Drama Seri Religi (DSR) seperti tersebut di atas telah mendongkrak rating stasiun televisi yang menayangkannya. TPI misalnya, dengan Rahasia Ilahi dan Takdir Ilahi telah menjadi stasiun televisi paling digemari di Indonesia, yang sebelumnya hanya berada di rangking ketujuh. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh AC Nielsen dari 15 Maret - 15 April 2005, TPI menjadi stasiun televisi terfavorit dengan 15,8%, diikuti oleh SCTV (15,2%), RCTI (14,9%), Indosiar (12,4%), LATIVI (11,2%), Trans TV (10,7%), TV7 (6,2%), Global TV (2,8%), Metro TV (2,5%), dan TVRI (1,7%) (Republika, 24/04/2005). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa fenomena Drama Seri Religi (DSR) telah menjadi wajah baru dalam Islam populer, seperti halnya dengan jilbab yang menggejala sejak dekade 90-an.

Kendati demikian, tingginya rating tidak serta-merta menunjukkan bobot kualitas acara yang dimaksud. Rating hanya menunjukkan peringkat banyaknya penonton yang menyaksikan acara tersebut, bukan memperlihatkan bobot kualitas acaranya. Bagi stasiun televisi sendiri, tingginya rating acara Drama Seri Religi (DSR) menjadi alasan bagi mereka untuk mengintensifkan tayangan-tayangan semacam itu. Stasiun televisi berdalih bahwa acara semacam itu disukai masyarakat, dan bahwa yang mereka lakukan hanyalah memenuhi keinginan masyarakat sebagai cerminan rating yang tinggi untuk program tersebut.

Hampir semua isu dalam DSR dikonstruksi dari sudut pandang mistik. Misalnya, kematian seorang Muslim dijadikan kasus yang sarat dengan simbol-simbol agama, terutama ketika kematian menunjukkan anomali-anomali yang dianggap sebagai cermin perbuatan, baik positif maupun negatif selama hidupnya. Antusiasme pemirsa, dibuktikan oleh hasil survei yang dilakukan oleh AC Nielsen, merupakan salah satu alasan mengapa penelitian ini perlu dilakukan. Mengapa anomali-anomali yang terjadi pada jenazah menarik untuk disaksikan? Tidak kalah penting untuk diteliti adalah implikasinya terhadap keberagamaan masyarakat, baik dalam konteks individu, keluarga maupun masyarakat.

Pasalnya, televisi merupakan media populer yang memiliki—Darrol Bryant menyebutnya sebagai—daya mempengaruhi publik (May dan Bird, 1982:101). Oleh karena itu, televisi disebut sebagai medium populi (media massa). Ketika suatu acara televisi mengangkat aspek religi misalnya, berarti televisi merupakan representasi sekaligus pembentuk wajah agama masyarakat. Ini disebabkan, apa yang ditayangkan televisi selalu mempertimbangkan logika pasar, dengan mengukur dan mengungkap apa yang menarik dan sedang menjadi buah bibir di masyarakat, kemudian menjadikannya sebagai komoditi yang dikonsumsi oleh publik (Ang, 1991:8).

Acara televisi yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah salah satu dari materi Drama Seri Religi (DSR) yang memuat dimensi mistis agama (the mystic dimension of religion) dengan wacana mayat dan kematian dari perspektif agama. Ada dua catatan dalam gejala ini, di satu sisi secara empiris, pemilihan topik mayat dan kematian menarik antusiasme dan apresiasi yang tinggi dari masyarakat, seperti ditunjukkan hasil survei. Di sini televisi menunjukkan kemampuannya dalam mengartikulasikan alasan-alasan yang rasional dari keberagamaan masyarakat. Di sisi lain, secara teoretis, pemilihan tema tersebut dalam pemahaman agama—yang disampaikan oleh tokoh agama (kyai dan ustadz)—dapat dipandang sebagai upaya pembentukan wacana dan perilaku. John Fiske dalam Audiencing menyatakan bahwa aktivitas menonton acara televisi melibatkan hubungan individu, keluarga, dan sosial. Dengan demikian, wajah Islam populer berikutnya dapat dilihat dari jaringan tiga hubungan yang muncul dalam praktik menonton acara-acara televisi ini.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak yang signifikan dari tayangan tersebut. Dampak ini akan dilacak melalui penelitian atas persepsi masyarakat yang diterpa tayangan televisi yang bernuansa mistik ini. Mengapa isu persepsi yang diangkat? Sebab, persepsi sangat berkaitan dengan perilaku seseorang—seperti dinyatakan oleh Singer (1982). Adapun persoalan-persoalan yang menjadi fokus penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. Pertama, mengapa DSR yang menayangkan keanehan mayat dan kematian mendapat antusiasme yang tinggi dari pemirsa? Kedua, apa implikasi dari DSR terhadap hubungan individu, keluarga, dan sosial dalam Islam populer? Ketiga, perlawanan apa yang dilakukan masyarakat terhadap wacana yang disosialisasikan oleh DSR? Faktor-faktor apakah yang memperkuat perlawanan tersebut?

DISKUSI PENELITIAN (METODE DAN PEMBAHASAN)

Kajian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif, tepatnya kualitatif-interpretatif, digunakan untuk memahami isu-isu di balik fenomena yang terlihat. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian ini, yang dimaksudkan untuk mengetahui persepsi subyek penelitian terhadap pengalaman menonton tayangan mistis televisi bertema mayat dan kematian dalam Drama Seri Religi (DSR).

Metode kualitatif obyek yang diteliti merupakan pilihan peneliti tentang aspek apa, peristiwa apa, dan siapa yang dijadikan fokus pada situasi tertentu. Artinya, hubungan dengan obyek penelitian adalah untuk mendapatkan informasi yang bersifat holistik-kontekstual. Dengan kata lain, sampling obyek penelitian tidak harus merupakan representasi populasi (metode kuantitatif), tetapi representasi informasi yang holistik (Sonhaji, 1994:38).

Tentu saja, sesuai dengan karakteristik riset kualitatif, penelitian ini tidak dimaksudkan mencari generalisasi, sebagaimana kajian-kajian efek media massa pada umumnya yang bertitik-tolak dari paradigma positivistik. Dari perspektif kualitatif, kajian ini dimaksudkan untuk mengungkap hal-hal yang tidak tereksplorasi dalam penelitian kualitatif, tidak bermaksud menguji suatu teori tertentu, juga tidak bebas nilai. Bagaimanapun penelitian ini bertitik-tolak dari asumsi adanya dampat negatif tayangan mistis televisi bertema mayat dan kematian dalam Drama Seri Religi (DSR) terhadap unsur masyarakat yang menjadi subyek penelitian.

Untuk lebih jelasnya, kerangka kajian dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
 
 TAYANGAN MISTIK TELEVISI   PERSEPSI. Sensasi, Atensi, Bertema  Mayat  dan  Kematian   Latar belakang budaya      Emosi, Motivasi, Memori dalam Drama Seri Religi (DSR)    lokal, keluarga, kelompok, dst)  (efek kognitif dan afektif)Kecenderungan berefek kognitif dan afektif yang negatif atau positif?

Partisipan yang dipilih untuk penelitian kualitatif ini, sesuai dengan tujuan penelitian, adalah individu yang merepresentasikan masyarakat menengah atas/elit, dan masyarakat menengah bawah/non elit, serta kelompok dewasa dan remaja. Secara umum mengapa dipilih elit dan non elit, karena diasumsikan ada perbedaan cara pandang yang cukup signifikan di antara kedua kelompok masyarakat tersebut terhadap tayangan mistik televisi. Sedangkan perbedaan kajian antara remaja dan orang dewasa ingin melihat persepsi keduanya tentang tayangan mistik, yang nantinya akan terlihat pada efek dari tayangan tersebut.

Data kualitatif yang digali adalah dalam bentuk informasi tentang persepsi masing-masing individu perorangan atau representasi kelompok terhadap tayangan mistik televisi bertema mayat dan kematian dalam Drama Seri Religi (DSR). Informan di lokasi penelitian akan diwawancarai oleh peneliti untuk mendapatkan data kualitatif yang dibutuhkan. Tempat penelitian yang dipilih harus memenuhi kriteria berikut. Pertama, banyak penduduk yang menonton DSR di televisi. Kedua, ada intensitas subyek untuk menonton DSR dan ketiga, terdapat beberapa langkah budaya yang dapat diikuti sebagai lingkup pembentukan dari tayangan program televisi.

Ketiga syarat tersebut harus digali. Karenanya tempat penelitian dalam kajian budaya populer tidak bisa dipilih secara acak, tetapi harus selalu purposive. Hal ini dikarenakan persyaratan dalam penelitian kualitatif tentang budaya, masyarakat yang diteliti harus memiliki kecenderungan dan sikap yang identik dengan kajian dan penelitian yang obyektif.
Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka dipilih kecamatan di sebelah utara Malang yang bernama Singosari. Singosari merupakan daerah trans agraris-industri yang memiliki setidaknya empat spesifikasi.

Pertama, Singosari merupakan basis kaum santri dengan lebih dari sebelas pondok pesantren tradisional. Kedua, terdapat empat makam di wilayah ini. Satu di antaranya dianggap sebagai makam keramat, yakni makam Bungkuk di desa Pagentan yang sering dikunjungi oleh penduduk Singosari sendiri bahkan orang luar. Dengan adanya pesantren dan makam ini, ada kemungkinan penduduk Singosari memiliki persepsi yang luas tentang subyek kajian ini. Ketiga, keunikan Singosari juga diperkuat oleh sejarahnya, yaitu sebagai sebuah wilayah yang memiliki nilai historis kuno. Selain di sana pernah berdiri Kerajaan Singosari, daerah tersebut dibuka (di-babat alas dalam terminologi Jawa) oleh Kyai Thohir, ayah dari Kyai Nahrowi Thohir salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Keempat, keberadaan masjid Bungkuk, yang bersebelahan dengan makam keramat Bungkuk, menjadi salah satu dari empat masjid yang dipercaya memiliki dimensi spiritual dan mistik khusus.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Teknik Wawancara Mendalam (Deep Interview), Metode Observasi Terlibat (Method of Observation Involved), Metode Diskusi Kelompok Terfokus (Method Focus Group Discussion), Analisis Isi (Content Analysis), Studi Literatur.

Adapun persepsi umum dari beberapa informan yang diwawancarai dirangkum sebagai berikut:

1. Mendangkalkan Akidah Agama

Maraknya tayangan mistik di berbagai stasiun televisi ini dapat menjadi penyebab pendangkalan akidah dan menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai Islam yang diajarkan oleh Muhammad SAW. Terjadinya berbagai musibah dan munculnya beragam problematika sosial yang menimpa bangsa ini, penyebabnya adalah semakin ditinggalkannya nilai-nilai akidah oleh mayoritas umat Islam, di mana media massa turut berperan di dalamnya. Pengurus Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) melaporkan tayangan mistik ke pihak kepolisian pada 6 Juni 2004 karena dapat merusak akidah, moral dan mentalitas generasi penerus bangsa (www.tempointeraktif.com).

2. Media Klenik Berbaju Islam

Pada mulanya berawal dari hadirnya media cetak yang berbentuk majalah kecil yang berjudul dan berpenampilan Islami, tetapi isinya cerita-cerita mistik dan cenderung bernada syirik. Isinya adalah dakwah Islam seperti sejarah Islam, kisah-kisah di zaman Rasulullah, konsultasi dzikir dan lain-lain. Tetapi ada bagian yang mencampuradukkan Islam dan klenik, seperti artikel yang memuat kisah-kisah yang mentelantarkan anak yatim sehingga kuburannya meledak, orang yang meninggal menjadi roh gentayangan, dan sebagainya. Media seperti ini sungguh digandrungi oleh umat Islam pada umumnya. Ada yang berpendapat bahwa media seperti ini sebenarnya mengeksploitasi keblingeran masyarakat luas yang sebenarnya sangat meminati perklenikan sehingga timbul kesan seolah-olah perklenikan ada dan diizinkan dalam Islam.

Kisah-kisah yang dimuat di media cetak inilah cikal-bakal tayangan televisi yang sekarang mendominasi tayangan televisi dengan judul Takdir Ilahi, Astaghfirullah, Rahasia Ilahi, Hidayah, dan sebagainya. Sebagian ada yang berpenampilan benar, untuk memberi contoh bahwa kejahatan akan musnah dan kebaikan akan unggul. Soal penyuguhannya yang cenderung mistik dan irrasonal, itu karena kebutuhan visualisasi cerita.

3. Pengaruh Ajaran Sufisme dan Peninggalan Animisme, Dinamisme serta Sinkretisme Hindu

Ajaran sufisme mempunyai andil dalam memupus mistisisme. Lipstik agama yang membungkus ritual sufisme banyak mengelabui umat. Cerita-cerita mistik tentang hal-hal gaib, malaikat, jin, dan lain sebagainya banyak mewarnai ajaran mereka.

Kepercayaan masyarakat yang gandrung terhadap mistik dapat difahami pula sebagai sisa-sisa pengaruh ajaran animisme (kepercayaan pada roh-roh leluhur), dinamisme (kepercayaan pada kekuatan yang mendiami semua benda) dan ajaran Hindu (tentang dewa-dewi). Termasuk di dalamnya, budaya sinkretisme yang mencampuradukkan ajaran berbagai agama untuk mencari penyesuaian.

TEMUAN PENELITIAN

Sebagai landasan untuk menganalisis hasil temuan, penelitian ini berpegangan bahwa persepsi masyarakat terhadap tayangan mistik televisi bertema mayat dan kematian yang tersuguh melalui Drama Seri Religi (DSR) itu dipengaruhi oleh latar belakang budaya masyarakat yang terkena terpaan siaran itu. Latar belakang budaya yang dimaksud bukan sekedar budaya etnisitas (lokal), namun juga budaya dalam arti luas, yakni budaya yang dibangun dalam keluarga, kelompok, dan interaksi dalam masyarakat; serta nilai dan kepercayaan yang dianut; watak dan karakter dalam agregat individu dalam suatu masyarakat. Persepsi melibatkan sensasi, atensi, emosi, motivasi, dan memori sebagai tampilan dari efek kognitif dan afektif. Maka penelitian ini akan melihat kecenderungan persepsi masyarakat tersebut—negatif atau positif, bila dikaitkan dengan fungsi sosial dan pendidikan dari media massa seperti televisi.

Hasil temuan dari penelitian terhadap tayangan mistik televisi bertema mayat dan kematian melalui Drama Seri Religi (DSR) ini memunculkan beberapa konsep sebagai berikut. Pertama, terjadi proses sosialisasi kepercayaan mistik. Pendapat para partisipan bahwa mereka mengaku menonton tayangan televisi bertema mayat dan kematian bukan karena ceritanya, tetapi karena daya tarik mistiknya. Persepsi kalangan dewasa mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak dan remaja. Hal ini bertentangan dengan fungsi pendidikan dari media massa bahkan dalam kenyataannya justru mendatangkan dampak negatif bagi para pemirsanya.

Kedua, persepsi dan efek tayangan mistik itu berkaitan erat dengan latar belakang budaya khalayak pemirsa. Persepsi partisipan dewasa terbagi dua. Ada yang menyukai karena cocok dengan latar belakang budaya, pengetahuan, dan keseharian mereka. Tapi sebaliknya bagi yang tidak menyukai karena berasumsi akan timbul hal-hal negatif, seperti percaya pada mistik (takhayul) sehingga melemahkan akidah akan ke-Esa-an Tuhan serta akan menjerumuskan pada perbuatan mistik.

Ketiga, terjadi proses desensitisasi (penumpulan kepekaan). Pengaruh tayangan mistik televisi terhadap sikap masyarakat memang tampak tidak langsung, kecuali pada remaja. Kendati demikian, pengaruhnya bukannya tidak ada. Selain menjadi pemicu untuk mencari tayangan yang lebih “seru”, tayangan seperti ini berpotensi menggeser atau melonggarkan batas-batas kode normatif yang selama ini dipegang teguh. Semua ini merupakan akibat dari fenomena yang disebut sebagai desentisasi atau penumpulan kepekaan akibat terpaan tayangan media yang intensif dan berlebihan.

Keempat, terjadi proses imitasi (peniruan). Keragaman persepsi masyarakat terhadap tayangan mistik televisi, hendaknya tidak mengurangi kewaspadaan terhadap dampak-dampaknya. Tayangan televisi yang bersifat audio-visual (dengar-pandang) mudah diikuti dan tentunya juga berkecenderungan mudah untuk ditiru. Media televisi, seperti dikatakan oleh Skornia (1965: 144-149) adalah seperti air dan api. Dia mudah menjalar ke mana-mana, juga mudah dilihat dan ditiru oleh siapapun. Di samping itu televisi merupakan “guru” yang lebih berpengaruh ketimbang guru di sekolah.

Kelima, terjadi perubahan prilaku. Dari hasil penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap tayangan mistik televisi bertema mayat dan kematian dalam Drama Seri Religi (DSR) yang cenderung mengarah pada persepsi negatif karena akan membentuk budaya massa negatif dalam kehidupan moral masyarakat, perlu dikaji melalui teori dampak media. Menurut Klapper (1960), sebagai hasil dari suatu komunikasi pasti ada perbedaan antara konversi, perubahan kecil, dan penguatan dari suatu dampak media, atau perubahan yang dikehendaki oleh komunikator. Media televisi yang tadinya ingin mengangkat realitas sosial ke tengah masyarakat, karena visualisasinya yang berlebihan dan intensitasnya yang terlalu tinggi, dikhawatirkan akan merubah watak dan moral individu yang diterpa tayangan tersebut. Makin banyak yang terkena dampak, maka akan merubah corak moral masyarakat. Karena masyarakat merupakan akumulasi dari individu.

Keenam, terjadi dominasi kekuatan media. Dalam konsep kekuasaan media ada dua persoalan pokok: (1) keefektifan media sebagai sarana untuk mencapai kekuasaan tertentu melalui persuasi, mobilisasi, informasi, dan seterusnya. (2) Kekuasaan siapa yang diterapkan oleh media: kekuasaan masyarakat secara keseluruhan, kekuasaan kelas, kekuasaan kelompok kepentingan tertentu, atau kekuasaan komunikator secara individual. Lebih jauh lagi apakah umumnya media beryindak untuk meningkatkan, mendukung atau meniadakan ketidakmerataan kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat? Dalam sejumlah situasi, media bergantung pada para pemasang iklan dalam mencapai tujuannya. Mengapa rating sangat dipercaya media televisi dalam kebijakan untuk membuat program acara mistik yang bertema mayat dan kematian lewat Drama Seri Religi (DSR) , karena penerapan dari konsep kekuasaan berdasarkan kepentingan para pemilik saham televisi untuk memperoleh dana dalam rangka menghidupi stasiun televisi mereka. Walaupun mungkin para pengelola stasiun televisi menyadari dampak negatif dari tayangan mistik bagi pendidikan dan pembangunan moral bangsa, namun mereka tutup mata demi kepentingan perusahaan.

Ketujuh, muncul proses resistensi. Dari aspek posisi pembacaan kultural, mengacu kepada teori Encoding-Decoding Stuart Hall, terlihat perbedaan penerimaan terhadap tayangan mistik televisi. Dengan berbagai pertimbangan, para partisipan kelompok elit dalam wawancara mengaku menolak untuk menyaksikannya. Ini menandakan bahwa ketika berhadapan dengan tayangan atau program televisi bermuatan mistik, partisipan kelompok elit ini berada pada posisi oppositional reading atau menolak. Televisi, dalam tayangan bermuatan mistik, dianggap telah menyodorkan nilai-nilai yang bertentangan dengan belief (keyakinan). Ideologi televisi secara tersirat hanya mencari keuntungan komersial semata. Kendatipun kenyataan ini dimaklumi sebagai hal yang alamiah dalam praktik industri televisi. Kelompok ini tidak mau tunduk dalam konstruksi pasar media semacam itu. Didorong oleh kesadaran untuk menolak tayangan mistik televisi, tertangkap bahwa partisipan kalangan elit memiliki “kuasa” untuk menolak penetrasi pasar.

Kesadaran untuk mengesampingkan program semacam ini dilatarbelakangi oleh faktor latar-belakang pendidikan, ekonomi, profesi, dan rutinitas yang ditempuh sehari-hari. Golongan ekonomi mapan relatif lebih memiliki peluang untuk menghabiskan leissure time-nya tidak semata-mata di depan televisi. Mereka memiliki alternatif hiburan yang lebih banyak dibanding golongan ekonomi lemah, seperti shopping ke mall atau berwisata.

Sikap-sikap demikian tidak ditunjukkan oleh partisipan kalangan non elit. Partisipan kalangan non elit justru memiliki motivasi untuk menyaksikan tayangan mistik televisi untuk memenuhi fungsi sosialisasi, rujukan, dan hiburan. Fakta ini memperlihatkan bahwa partisipan kalangan non elit berada pada posisi pembacaan yang bersifat dominant-hegemonic reading. Mereka menjadi konsumen televisi yang patuh dan bersedia “disuapi” apa saja oleh televisi. Kalaupun sebelumnya muatan televisi bertentangan dengan nilai-nilai yang sebelumnya dipegangi, golongan ini akan lebih mudah berkompromi. Televisi bagi mereka adalah teman penghibur sekaligus pelarian yang relatif murah dan mudah diakses, terutama di kota-kota besar tempat kalangan non elit menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dalam himpitan keterbatasan ekonomi.

Bagaimana penerimaan kalangan dewasa terhadap tayangan mistik televisi bertema mayat dan kematian? Sebagian kalangan tampak mencemaskan dampak tayangan tersebut, sebagian lagi tidak, bahkan menggunakannya sebagai sarana sosialisasi, rujukan, dan hiburan. Juga tampak kalangan dewasa umumnya memahami bahwa perilaku televisi itu bersumber dari nature industri hiburan yang bersifat komersial, sehingga wajar jika stasiun televisi mengekspos komoditi yang dapat dijual atau bernilai rating tinggi. Bagi mereka, bagaimana menyikapi tayangan seperti ini berpulang pada kesadaran dan pilihan masing-masing. Dengan dasar pendapat seperti itu, tampak bahwa posisi pembacaan partisipan dewasa terhadap tayangan mistik cenderung negotiated position, yakni khalayak berkompromi pada tayangan sejauh mampu memuaskan kebutuhan personalnya, atau sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Ketika nilai-nilai yang diacunya bertentangn dengan program tersebut, maka sebagian khalayak menentangnya dengan caranya sendiri-sendiri.

Analisis temuan penelitian yang memunculkan ketujuh konsep tersebut dapat menjawab pertanyaan penelitian seperti tertera pada kerangka kajian, di mana dalam mempersepsikan tayangan mistik televisi masyarakat dipengaruhi oleh latarbelakang budaya (lokal, keluarga, kelompok) yang tertuang melalui sensasi, atensi, motivasi dan memori khalayak penonton tayangan tersebut. Selain itu, persepsi tersebut cenderung berefek kognitif dan afektif yang negatif bagi sebagian khalayak penonton, terutama pada kalangan menengah ke bawah (non elit) baik kalangan dewasa maupun remaja. Sedangkan kalangan elit dewasa dapat membentengi diri dengan penolakan untuk menonton tayangan tersebut, tetapi elit remaja masih rawan terpengaruh karena belum matangnya tingkat nalar dan kedewasaan mereka.

KESIMPULAN

Konsep rating yang mengasumsikan bahwa program dengan rating tinggi pasti disukai khalayak, perlu dipertanyakan. Sebab khalayak memiliki persepsi berbeda-beda seiring dengan perbedaan latarbelakang budaya, pendidikan, keimanan, umur dan kematangan diri. Lokasi di mana survei rating dilakukan sangatlah subyektif. Rating-rating tinggi bagi tayangan mistik televisi diperoleh karena survei tersebut dilakukan pada kelas menengah ke bawah dan remaja. Di sinilah letak persoalannya. Pasalnya, secara teoritis mereka termasuk kategori kelompok yang patuh-mengikuti (hegemonic-dominant) dan berkompromi (negotiated) pada isi tayangan.

 Kesimpulan penelitian ini dapat diambil dari beberapa hal yang menonjol, yakni:
1. Tayangan Drama Seri Religi (DSR) itu menarik, khususnya bagi masyarakat berpendidikan rendah dan berekonomi lemah, dikarenakan mereka tidak memiliki alternatif hiburan selain televisi. Selain itu, mereka melihat bahwa materi DSR itu begitu dekat dengan realitas keseharian kehidupan mereka.

2. Implikasi tidak langsung dari DSR terhadap individu, keluarga, dan masyarakat adalah dapat mendangkalkan akidah agama. Pasalnya, DSR itu sesungguhnya tontonan klenik berbaju Islam yang dipengaruhi oleh ajaran sufisme dan peninggalan animisme, dinamisme, serta sinkretisme Hindu.

3. Salah satu temuan penelitian yang menarik adalah munculnya desensitisasi dan resistensi di antara khalayak televisi. Desensitisasi adalah penumpulan kepekaan diakibatkan karena khalayak terbiasa menyaksikan tayangan mistik televisi yang dipermasalahkan. Resistensi muncul di antara khalayak yang berada pada posisi negotiated dan oppositional reading, menerima, memperhatikan dan menolak dengan cara mengganti saluran.

REKOMENDASI

   Perspektif aksi sosial (social action) memandang penggunaan media (media use) sebagai tindakan sosial dan menempatkan khalayak sebagai pihak sentral dan dominan dalam proses komunikasi massa. Khalayak diasumsikan sebagai pihak yang aktif dalam mempersepsikan pesan-pesan komunikasi, terlibat dalam aktivitas berdasarkan tujuan mereka, minat, dan kepentingan-kepentingan. Perspektif ini bila dikaitkan dengan perspektif masyarakat dalam penelitian ini seyogyanya masyarakat dapat memilih dan menghindari tayangan yang mereka anggap tidak baik. Sebaliknya khalayak juga berpotensi untuk mengambil informasi dan mempersepsikannya sesuai dengan kepentingan dan tujuan mereka. Dengan kata lain, dapat menjadikan tayangan-tayangan tersebut sebagai inspirasi dan stimulasi untuk selanjutnya meniru bentuk-bentuk tayangan mistik televisi. Kesemuanya itu dapat dilatarbelakangi oleh kebiasaan budaya, tingkat pengetahuan, serta kondisi sosial-ekonomi si pengguna media tersebut. Oleh karena itu peran media sendiri dapat menggiring masyarakat ke satu arah tujuan yang positif, dengan memberikan pesan-pesan yang baik dan positif pula.

 Media televisi sesungguhnya sangat ampuh untuk menyampaikan pesan-pesan morak kepada masyarakat. Memang uang sangat penting dalam menghidupi kelangsungan media tersebut, namun harus diimbangi dengan kesadaran mendalam akan rusaknya moral bangsa yang nilainya sangat mahal. Televisi harus mampu mengangkat moral masyarakat ke tingkat yang lebih baik dan bermartabat, bukan malah mengumbar budaya massa yang irrasional dan berselera rendah dengan mengeksploitasi mistisisme dan mitologi. Inilah yang dikenal sebagai tanggung-jawab sosial media massa terhadap khalayak pemirsa.
Sebenarnya pihak-pihak yang terkait, yakni pemerintah serta lembaga keagamaan kemasyarakatan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan peraturan berupa fatwa. Hal ini harus segera ditindaklanjuti dengan upaya meluruskan siaran-siaran yang berdampak negatif. Upaya ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak-pihak berkompeten dengan membuat tema-tema acara yang baik.

Pedoman Perilaku dan Standar Program Siaran (P3 & SPS), dilengkapi dengan Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 32 tentang penyiaran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Tahun 2004, telah selesai disusun. Sayangnya perangkat aturan itu belum ditaati sepenuhnya oleh para praktisi media, karena mereka lebih mengejar kepentingan mereka semata. Sampai kapan kondisi terus berlangsung, semuanya tergantung pada kuatnya tekad pemerintah untuk menangani hal ini dengan tegas dan konsisten, dalam rangka memperbaiki moral bangsa secara keseluruhan.
 
DAFTAR PUSTAKA

Ang, I. 1991. Desperately Seeking the Audience. London: Routledge.

Fiske, John. 1994. “Audiencing: Cultural Practice and Cultural Studies” dalam Norman K. Denzine & Yvonna S. Lincoln. Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publication.

Latif, Das’ad. 2005. “Sosialisasi Kemunafikan” dalam Republika.

Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication (7th ed.). Wadsworth: CA.

May, John R. & Bird, Michel (ed.). 1982. Religion in Film. Knoxville: The University of Tennessee Press.

McQuail, Dennis. 2002. McQuail Mass Communication Theory. Wadsworth: CA.

Ruslani. 2005. “Tayangan Sinetron Relijius: Dari Kesalehan Ritual ke Emerging Reason” dalam Kompas.

Skornia, H. J. Television and Society: An Inquest and Agenda for Improvement.  New York, McGrawhill Book Company.

Siregar, Ashadi. 2005. Sinetron Indonesia: Untuk Pasar dan Budaya. Yokyakarta: LP3Y.

Sonhadji, Ahmad. et. al. 1994. Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan. Kalimasahada Press: Malang. 

Mukhid, Abdul. 2003. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Bentang Press.

Rakhmat, Jalaluddin. 1989. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Karya.

Veeger, K.J. 1990. Realitas Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Utama.

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
1.
Pengirim: m saikhul arif  - Kota: sidoarjo
Tanggal: 8/11/2009
 
ana setuju banget ustad ttng hal ini sebagaimana manusia sekarang lebih cenderung untuk berbuat syirik, percaya kpd kebanyakan ramalan manusia yang jauh dari kebnaran dan melenceng jauh terhadap syari'at islam, smoga allah tetap memberikan kita untuk selalu berjuang "allahuakabar" 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Alhamdulillah jika masyarakat menjadi sadar, bahwa dalam agama Islam ada batasan-batasan yang tidak boleh dilampaui. Namun kita juga tidak boleh 'mengantem kromo' atau 'menggebyah uyah' atau 'memukul rata' dengan mengatakan semua yang berbau mistik itu SYIRIK, karena di dalam Alquran sendiri ada Surat jin, dan Nabi SAW juga pernah berhubungan dengan bangsa jin tentunya dalam konteks dakwah, dan Alquran menerangkan : wamaa khalaqtul jinna wal insa illaa laya'buduun (tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanyalah untuk menyembah-Ku). Jadi kita harus pandai-pandai membaca realita dengan standar ilmu agama yang cukup memadai, sehingga menghasilkan pemahaman yang baik dan benar. Jika tidak, pasti akan terkontaminasi oleh paham Wahhabi yang ciri khasnya adalah menvonis 'SYIRIK' kepada semua orang yang mengamalkan amalan yg dianggap oleh Wahhabi berbau mistis, misalnya ziarah kubur, menolong orang yang kerasukan jin, menolong orang yang disantet dukun, pengobatan alternatif dan yang semisalnya, sekalipun menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan ayat Alquran maupun Hadits Nabi SAW.

2.
Pengirim: Edy  - Kota: jogja
Tanggal: 29/4/2010
 
saya tertarik dengan penelitian ini. saya mau nanya kira-kira penelitian ini dilakukan berapa lama dan Bpk Yusuf Hanafi ini institusinya apa?karena penelitian ini menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian saya.
terimakasih sebelumnya, mohon di balas ke email saya...  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Jika akhi membutuhkan nomer kontak Bpk. Yusuf Hanafi : 081334111537.

 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam