LAUTAN HARAPAN
Oleh : M. Rifa’I Sidoarjo
Suasana malam begitu sepi, nyanyian para jangkrik terus menggema menghiasi dinginnya malam. Bulan purnama masih setia menyinari bumi tanpa lelah, orang-orang telah tertidur bersama mimpi ditemani selimut tebal yang amat hangat. Sebuah rumah sederhana berdiri menghadap laut, terlihat seorang anak kecil keluar dengan menggunakan jaket berwarna abu-abu, sambil menatap laut matanya mulai berkaca-kaca.
“Sudah satu tahun ini, aku hidup sendiri, walaupun teman-teman selalu di sisiku, tetapi mengapa diriku tetap kesepian” ia bicara pada dirinya sendiri . Batu berukuran sedang ia ambil dari pasir pantai di bawahnya, ia lempar sekuat tenaga hingga batu tersebut tenggelam jauh. “Dasar benda tak berperasaan, kau apakan orang-orang yang aku cintai , padahal aku masih anak-anak ,tega sekali dirimu, tega sekali kau!” Ia kemudian melangkahkan kaki menuju dinginnya air laut, walaupun hawa yang kurang bersahabat, ia masih saja melangkahkan kaki hingga air laut menenggelamkan setengah badannya.
“Terima kasih teman, atas segala kebaikan kalian. Untuk hari ini aku ucapkan selamat tinggal untuk kalian, walaupun kalian semua bernasib sama denganku, tapi jangan pernah kau lakukan apa yang hari ini aku lakukan. Cukup diriku saja yang mengalami hal ini, aku sudah tak kuat lagi menahan rasa rinduku, ingin sekali menyusul mereka berdua.” Air laut semakin menelan tubuhnya, hingga mencapai leher. Sebuah foto ia genggam erat-erat di tangan kanannya. Kedua matanya telah dipejamkannya, dia siap tenggelam bersama dinginnya laut.
“Hey, apa yang kau lakukan di sana, cepat kembali ke daratan!” teriak seorang nelayan berumur 70 tahunan. “Cepat...Cepat...Cepat naik ke daratan!”
Anak tersebut tidak menghiraukan apa yang didengarnya, air laut telah memakan seluruh tubuhnya, dengan langkah seribu, sang kakek menceburkan diri untuk menolong si anak. Walaupun fisik sang kakek sudah mulai habis dimakan usia, tetapi ia masih mempunyai tenaga seperti pemuda berumur 25 tahun. Usahanya tak sia-sia, diangkatnya si anak ke tepi pantai. Pertolongan pertama ia berikan, hingga si anak tersadar dari pingsannya.
Perlahan matanya terbuka, dilihatnya seorang kakek tak memakai baju sedang tersenyum manis padanya.
“Syukurlah kamu selamat” Kata kakek sambil mengelus dadanya.
“A...An...Anda siapa?” Ia tak kuat menahan dingin yang menusuk tubuhnya.
“Tenanglah, sekarang istirahat, dan jangan pernah pikirkan apapun.” Instruksi sang kakek
Ia menutup kembali matanya. Dan terlelap dalam indahnya malam.
“Apakah benda ini yang membuat anak ini nekat melakukan perbuatan konyol seperti tadi?” Sambil melihat sebuah foto yang digenggam si anak.
“Mungkin mereka berdua telah tiada, kasihan sekali anak ini. Ia masih murid SD, sudah menjadi yatim piatu.” Sambil mengelus-elus rambut si anak.
Sang kakek hanya bisa termenung membayangkan kejadian satu tahun yang lalu. Air laut mengamuk , ia menerjang semua yang ada di tepi pantai. Banyak sekali korban berjatuhan. Teriakan minta tolong membahana di bumi Aceh, tak ada yang bisa menolong mereka, semua orang sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Pemandangan memilukan terlihat setelah air kembali ke tempat semula. Mayat- mayat tergeletak di mana-mana, di jalan ,di tanah lapang, hingga di atas pohon. Sungguh tanggal 26 Desember adalah hari yang sangat kelam.
“Tidurlah nak! Lupakan kenangan itu, masa depanmu masih panjang, jangan pernah kau sia-siakan perjuangan orang tuamu yang telah membesarkanmu.” Mata sang kakek mulai berkaca-kaca, sambil terus menerus membelai rambut si anak. Malam semakin larut, menemani kedua insan yang kedinginan dan kesepian.
•••