S
Matahari pagi menebarkan pendarnya di jagat raya, awan putih berbaris rapi, di atas latar berwarna biru muda. Tanaman tebu berkumpul menjadi satu menjadi hutan tebu, puluhan hektare tanaman penghasil gula menari ditiup melodi angin. Aku sebagai anak seorang pengusaha sukses di desa, sering mengajak teman sekelas untuk memotong tebu bersama. Tapi dalam satu minggu ini entah mengapa aku dilarang melakukan kegiatan rutin tersebut.
Bayanganku sekarang sama dengan tinggi tubuhku. Untuk melepas rasa kangen dengan gemericik daun tebu, aku rela berpanas-panasan ,karena resahku dapat musnah saat mendengar nyanyian daun tebu, serta dengan itu aku bisa mentafakkuri kehebatan penciptaan alam semesta di kebun belakang rumahku.
Apa ini penyakit telinga atau bukan ataukah telingaku tertutup kerudung terlalu rapat, aku tidak tahu. Aku mendengar suara yang bukan termasuk melodi nada tebu. Terlihat bungkusan putih bergerak-gerak menggeliat ganas, tak ada suara apapun keluar dari bungkusan tersebut, dan ia masih tetap saja bergerak.
“Astaghfirullah, apa masud dari semua ini!” Wajah lucu nan imut terselip pada buntalan putih, kulitnya lembut masih berwarna semu merah, siapa gerangan yang tega meninggalkannya sendiri dalam keadaan mulut tertutup oleh lakban dan tali pusar masih menempel kokoh di perutnya.
“S?” aku bingung apa maksudnya.
Sebagai manusia, naluriku muncul dalam bentuk rasa sosial, aku membawanya pulang ke rumah. Jarak rumah dengan tempat aku menemukan bayi itu, cukup jauh. Namun pada waktu itu rasa peduliku tiba-tiba membara, padahal kebiasaanku adalah tidak mau tahu dengan keadaan sekitarku.
“Punya siapa ini?” ibuku bertanya. Beliau sangat antusias dengan kehadirannya, aku bisa melihat dari senyumannya. Mungkin sebagai seorang ibu, kehadiran seorang anak merupakan anugerah tersendiri bagi beliau.
“Aku tidak tahu”
“Apa ini?” beliau memegang kalung yang menggantung di leher si kecil.”S?”
“Mungkin itu nama ibunya” Itulah ide yang tiba-tiba muncul. Apa itu Sumiati, Suminten, Sugi, Suparnah atau siapalah…, tapi itu hanya tebakan saja.
“Bukan”
Aku terperangah tak karuan, mengapa beliau bisa berbicara seperti itu, dengan landasan apa bisa berkata seperti itu. Ah... itu hanya tebakan saja, bisa benar bisa juga salah. Maklumlah beliau juga manusia biasa.
“Son”
“Son?”
“Iya son”
“Son?”
“Son yang berarti anak laki-laki, Allah menakdirkan ini semua, pasti ada sesuatu. Sejak kematian ayahmu 2 tahun lalu, perusahaan pabrik gula tidak ada yang meneruskan, kalaupun itu ada hanya untuk waktu jangka pendek dan tidak banyak yang melakukan korupsi. Nah, dengan kehadiran anak laki-laki, kelak ialah yang akan meneruskan perusahaan ayahmu untuk seterusnya.”
Aku sekarang mengerti hakikat arti “S” sebenarnya, ibu sangat bersemangat untuk merawat si kecil, aku tidak cemburu walaupun beliau membagi cintanya pada si kecil, justru aku lebih senang karena aku punya adik, calon penerus perusahaan ayah, semoga saja ibu aslinya rela dengan semua ini. (PIQ)