QWERTY
Aku lelah sekali, perutku menjerit minta makan, sungguh lengkap penderitaanku siang ini. Maksud hati ingin membeli sebungkus nasi tapi sangat tidak mencukupi uang yang singgah di kedua tanganku sekarang. Sampai kapan aku harus menengadahkan tangan, padahal raga ini ingin sekali pergi meninggalkan tempat setiap hari aku meminta.
“Kakaaaak…!”
Tak ada semangat dalam hidupku, padahal hanya untuk menolehkan kepala ini saja, butuh perjuangan besar. Adikku tersenyum pun tak membuatku berubah kondisi. Namun ini sedikit berbeda, ia berlari ke arahku dengan membawa selembar kertas.
“Kak aku minta yang ada ininya…” sambil menyodorkan selembar kertas. Entah itu kertas apa tidak, aku tidak tahu. Pokoknya sesuatu yang bisa untuk ditulis, itu namanya kertas.
QWERTY
Mungkin itu maksud dari tulisan tersebut. Sungguh tak begitu jelas bentuknya, aku bertanya pada diriku sendiri. Dari mana ia bisa belajar menulis, padahal sejak ia baru keluar dari rahim ibu sampai ia berdiri di depanku sekarang, tak pernah sedikitpun mengenyam yang namanya pendidikan.
“Kaaak…” aku memanggil kakakku yang sedang menarikan jari-jemarinya di atas senar gitar, ia sangat sibuk karena pada waktu itu lampu lalu lintas berwarna merah. Bagi kami saat lampu merah menyala merupakan lahan basah bagi kami. Banyak mobil dan sepeda motor berhenti, aku tahu mereka sangat terganggu dengan kehadiran kami. Tapi bagaimana lagi, itu merupakan profesi yang kami geluti sehaeri-hari. Jadi maafkan kami.
“Ada apa?”
“Ini” ku sodorkan kertas yang diberikan oleh adikku tadi. Kakakku hanya tersenyum sedikit sebagai jawaban setelah membaca tulisan yang telah terukir di atas sobekan kertas kecil
“Sini” kakakku memanggil adikku yang sudah berdiri sekitar lima menit yang lalu. Wajahnya didekatkan pada telinga adikku. Aku tidak tahu sama sekali apa yang keluar dari mulutnya tapi yang pasti aku tidak mau tahu tentang semua itu.
“Makasih kak” Adikku berlari meninggalkan kami berdua. Melihat langkahnya saja aku tahu kalau bunga sedang bersemi di hatinya. Aku tidak tahu mau ke mana dia. Sekali lagi aku tidak mau tahu
“Ran, ke sini” kini giliranku dipanggil kakak mungkin sekarang giliranku untuk bertukar tugas dengannya. Hal ini sudah biasa kami lakukan untuk mengatasi kelelahan yang sangat.
Mulutnya didekatkan ke telinga kananku. Aku sangat tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Sejauh itukah impian adik. Padahal untuk mengisi perut ini saja butuh keringat berjuta-juta liter, apalagi menuruti permintaan adik. Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi yang penuh debu ini.
Berapa kali kakakku harus berbohong. Memang aku dan kakak tidak mau menyakiti perasaannya. Sudah cukup kemiskinan ini menjadi beban. Kami tak ingin menghancurkan impiannya mungkin suatu saat dia bisa mendapat sesuatu yang berbentuk persegi panjang pegangan orang orang berdompet tebal.
Muhammad Rifa’i (PIQ)