KEADAAN DI PONDOK RIBATH KETIKA RAMADHAN
Alwi bin Lukman Assegaf
Pada saat saat di awal bulan ramadhan 1429 H (2008 M), saya dengan teman-teman santri Ribath, setiap malam selalu membaca Al-Quran. Karena, menurut guru saya jika di malam bulan ramadhan, kita membaca Al-Quran dalam sebulan suntuk, maka kita akan mendapatkan malam yang sempurna yaitu “Lailatil Qadar”. Malam yang dikenal dengan malam seribu bulan itu hanya terdapat pada malam-malam bulan ramadhan.
Pada suatu hari, saya dengan teman-teman, sebelum shubuh, tepatnya sebelum makan sahur, kami melakukan shalat witir berjamaah, yang diimami langsung oleh pengasuh pondok ribath yakni KH. Luthfi Bashori, yang biasa dipanggil oleh semua santri-santrinya dengan panggilan “Ammy”. Dengan panggilan Ammy, para santri menjadi akrab dan merasakan bagaikan ayah sendiri. Sesudah shalat witir, saya langsung sahur, sehabis sahur saya menunggu adzan shubuh bersama teman-teman yang lain. Setelah shalat shubuh saya dan teman teman langsung tidur. Tidak usah heran, di pondokku apabila datang bulan Ramadhan, kegiatannya berubah total, malam jadi siang, dan siang jadi malam. Jadi, keadaan di Ribath itu, jika usai shalat shubuh di bulan Ramadhan, maka para santri selalu tidur sampai jam 9 pagi. Kegiatan resmi bagi teman-teman sebangun dari tidur pagi, adalah membaca Al-Quran secara bersama-sama sampai tiba adzan dhuhur. Setelah shalat dhuhur, kami diberi waktu untuk membaca Al-Quran sendiri-sendiri.
Tatkala waktu ashar datang, para santri mendirikan shalat berjamaah dan dilanjutkan dengan mengaji kitab aqudah hingga pukul 5 sore, atau menjelang buka puasa. Sambil menunggu waktu berbuka, kami melantunkan shalawat dan membaca doa-doa yang biasa dibaca oleh para salaf. Laa ilaaha illallah, astaghfirullah, nas-aluka ridhaka wan jannah wa na’udzu bika min sakhatika wan nar, ya adhimu ya adhimi ya adhim, ighfirid dzanbal adhim, fa innahu laa yaghfirud dzanabal adhim illal adzim…lantunan doa semacam itulah yang kami baca secara bersama-sama, sehingga hati ini bebar-benar merasa dekat dengan Allah. Saya sendiri sangat menikmati dzikir-dzikir semacam ini, khususnya di bulan Ramadhan.
Adzan maghrib berkumandang, menandakan puasa kami hari itu telah sempurna pada waktu yang telah diwajibkan. Kami pun dengan serentak membaca doa buka puasa bersama-sama Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa ala rizqika arthaftu birahmatika ya arhamar rahimin, dan kamipun langsung menyantap menu takjil yang dihidangkan oleh keluarga Ammy pada hari itu. Takjil di pondok kami selalu berganti-ganti pada setiap hari, terkadang es blewah, es kelapa muda, es buah dan bermacam es lainnya serta buah kurma, demikianlah mejadi menu takjil setiap harinya secara bergantian. Kami pun sangat senang, dan merasa bersukur dengan kenikmatan itu, karena kami merasa, tidak semua umat islam karena dapat merasakan indahnya bulan Ramadlan. Di bulan-bulan yang lain, kami sering merindukan suasana seperti saat kami dengan menyantap makanan dan minuman yang lezat dan segar di bulan Ramadhan di Ribath. Seusai berbuka bersama dengan teman-teman, dan kehadiran Ammy Luthfi di tengah halaqah takjil bersama para santri itu, kami melaksanakan shalat maghrib berjamaah dan dilanjutkan dengan makan resmi nasi masakan dari dalam keluarga Ammy.
Waktu Isya’ telah tiba, semua santri sudah siap dengan baju koko dan sarung mereka masing-masing, untuk melaksanakan shalat isya’ berjamaah dan dilanjutkan dengan shalat tarawih 20 rakaat. Untuk mengerjakan shalat witir, biasanya Ammy mengajak para santri pada jam 03:00 malam menjelang shubuh. Shalat witir berjamaah yang diprogramkan Ammy sebanyak 5 rakaat. Untuk selebihnya terserah masing-masing santri.
Ada tambahan kegiatan setalah shalat Isya’, kami diwajibkan untuk latihan berpidato dengan materi yang telah mereka pelajari. Sedangkan waktu yang disediakan kurang lebih 10 sampai 15 menit untuk menyampaikan materi pada setiap malamnya secara bergiliran. Setelah kegiatan latihan berpidato, kami berangkat menuju masjid Jami’ yang lokasinya hanya 300 meter dari Ribath untuk menjalankan sunnah Ramadhan, yaitu itikaf. Satu jam lamanya kami beri’tikaf, dan kami kembali ke pondok untuk melaksanakan kewajiban kami sebagai santri yaitu mengaji kepada salah satu ustadz senior, beliau adalah Ustadz Sholihin Jaiz alumni Ma’had Sayyid Mumammad Almaliki Makkah, 23 tahun lamanya. Ada juga waktu-waktu khusus, kami membaca kitab kepada Ammy hingga pukul 11.30 malam.
Jam istirahat malam pun kami lewatkan dengan tadarrus sendiri-sendiri. Hingga kami merasa ngantuk. Inilah kegiatan kami sebagai santri Ribath selama bulan Ramadlan. Alhamdulillah.
Medio, 22 Maret 2009, Ribaht Almurtadla.