RADLIYALLAH `ANHU
Luthfi Bashori
Perbedaan penggunaan penyebutan radhiallahu anhu (semoga Allah meridlainya) dengan rahmatullahi alaih (semoga Allah merahmatinya), seringkali tidak dapat dibedakan oleh umat Islam dewasa ini, khusus di kalangan mereka yang kurang mendalami dzauq `arabi (perasaan berbahasa Arab), dan kalangan yang lebih mengedepankan pemahaman terhadap bahasa Arab hanya berdasarkan kosa kata semata. Berikut ini adalah contoh pertanyaan seputar hal itu:
PENANYA: Ass. Pak ustad, kenapa sebutan radhiallahu anhu dan rahmatullahi alaih dibedakan untuk para shahabat dan selain mereka?
PEJUANG: Dalam bahasa Arab itu ada etika dan aturan main yang diperlukan, sekalipun tidak tertulis, seperti juga dalam bhs. Indonesia. Contohnya kalo kita bicara kepada ayah kita, maka tidak boleh secara etika, kita mengatakan: KAMU mau kemana Pak ? Karena kata-kata KAMU itu tidak patut disampaikan kepada ayah kita...! Nah, semacam itulah kira-kira penggunaan lafadz radhiallahu anhu dan rahmatullahi alaih.
PENANYA: Maksud saya apa boleh kalimat radiallahu anhu dipakai buat para tabi`in atau ulama sesudah generasi para shahabat, sampai kiamat, atau hanya pantas sebagai adab khusus untuk para shahabat Rasul SAW saja, dan yang selainnya hanya memakai rahmatullahi alaih?
PEJUANG: Karena Allah ta`ala telah mencontohkan dalam Alquran ucapan untuk para shahabat adalah Radhiyallahu `anhum wa radhuu `anhu (Allah ridha kepada mereka para shahabat, dan mereka juga ridha terhadap ketentuan Allah), maka kalimat radhiyallahu `anhu dipilih oleh para ulama untuk menyertai penyebutan nama para shahabat. Sedangkan generasi selanjutnya tidak mendapat gelar khusus itu. Maka dipilihkan doa yang lain, seperti Rahmatullah alaih (semoga Allah merahmatinya).
Sekalipun semua doa kebaikan itu tidak salah untuk menyertai nama orang-orang shaleh pada setiap generasi, tapi terasa kurang tepat jika tidak disesuaikan dengan kebiasaan yang digunakan oleh para ulama.
Atau minimal untuk para salaf yang hidup pada generasi pertama dan kedua, yaitu para shahabat dan para tabi`in, maka sebaiknya menggunakan penyebutan radhiyallahu `anhu, karena dalam istilah para ulama hadits, untuk menyikapi perkataan yang murni bersumber dari para shahabat itu masih dibenarkan penggunaan istilah HADITS, namun dengan embel-embel mauquf, yaitu Hadits Mauquf, dan untuk perkataan para tabi`in juga masih dibenarkan menggunakan istilah HADITS, namun dengan embel-embel maqtu`, yaitu Hadits Maqthu`.
Secara global menurut para ulama, jika disebut HADITS maka yang dimaksud adalah segala hal yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW baik dari perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifat-sifat beliau SAW.
Sedangkan jika disebut HADITS MAUQUF maka yang maksud adalah perkataan para shahabat, dan jika disebut HADITS MAQTHU` maka yang maksud adalah perkataan para tabi`in.
Adapun untuk menyertai penyebutan para ulama yang hidup pada generasi ketiga dan seterusnya, sebaiknya menggunakan penyebutan rahmatullahi alaih, hal ini hanyalah karena mengikuti etika para ulama. Wallahu a`lam.