SALAH KARPRAH AWWAM TERHADAP ISTILAH AQIDAH DAN AMALIAH
Luthfi Bashori
Biasanya kebanyakan orang awwam tidak dapat membedakan antara AQIDAH seseorang dengan AMALIAH-nya, sehingga sering kali terjadi kerancuan dalam memahami atau saat mengutarakan pendapatnya di depan publik. Entah itu lewat postingan di FB, atau majalah, atau radio, dan sebagainya.
Contohnya, ada sebagian kalangan awwam yang sudah terlanjur salah kaprah mengatakan: AQIDAH saya adalah ikut Tahlilan, sedangkan AQIDAH-mu menolak Tahlilan. Padahal urusan Tahlilan itu hanyalah masalah amaliah khilafiyah furu`iyah yang memamg boleh terjadi perbedaan di kalangan umat Islam dan urusan ini bukan urusan AQIDAH.
Contoh lain, ada sekelompok orang awwam yang mengatakan, warga NU itu mengaku-ngaku sebagai pengikut Imam Syafi`i, tapi tidak ikut aqidahnya, karena Imam Syafi`i mengatakan Tahlilan itu pahalanya tidak sampai kepada mayit, tapi warga NU justru melestarikan Tahlilan.
Jelas saja pernyataan ini adalah kesalahkaprahan kalangan awwam belaka, karena masalah pahala bacaan Tahlilan itu sampai atau tidak sampai kepada mayit, bukanlah urusan AQIDAH, namun hanyalah urusan amaliah yang boleh berbeda di antara umat Islam.
Contoh kongkrit lainnya, hari Selasa ini tanggal 9 Juli 2013, ormas Muhammadiyah sudah menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1434 H, karena berdasarkan ilmu hisab, sedangkan pemerintah dan ormas-ormas Islam lainnya akan melaksanakan puasa Ramadhan 1434 H adalah besok Rabu tanggal 10 Juli 2013, karena berdasarkan hasil rukyah hilal yang belum memenuhi ketentuan ilmu falaq.
Perbedaan pendapat dalam penentuan awwal Ramadhan ini adalah masalah amaliah furu`iyah yang boleh-boleh saja terjadi, karena bukan urusan AQIDAH. Jadi baik Muhammadiyah maupun non Muhammadiyah tidak dihukumi berdosa sekalipun awwal puasa Ramadhannya berbeda.
Seperti juga Imam Malik memberlakukan hukum Larangan Baca Basmalah dalam shalat fardhu, tetapi murid beliau, yaitu Imam Syafi`i justru menerapkan hukum Wajib Baca Basmalah dalam shalat fardhu.
Karena masalah Baca Basmalah dalam shalat ini bukan urusan aqidah, namun hanyalah urusan amaliah furu`iyah, maka kedua imam madzhab ini berbeda pendapat, dan masalah khilafiyah seperti ini diperbolehkan oleh syariat.
Apalagi hanya masalah amaliah furu`iyah yang sunnah, seperti disunnahkannya kirim doa kepada mayit (Tahlilan) menurut jumhur/mayoritas ulama termasuk para ulama Syafi`iyah, karena menurut mereka pahalanya sampai kepada mayit, sedangkan menurut Imam Syafi`i pahala Tahlilan tidak sampai secara langsung kepada mayit, sehingga para ulama Syafi`iyah perlu memberi catatan, bahwa pahala Tahlilan itu akan sampai kepada mayit jika ditambah ucapan: Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan Tahlilan ini kepada mayit.
Maka pada setiap pelaksaan Tahlilan di kalangan pengikut madzhab Syafi`i, tersusunlah secara umum sebagai berikut:
1. Pembukaan, kirim pahala bacaan surat Alfatihah secara umum kepada mayit.
2. Pembacaan surat Yasin.
3. Pembacaan surat Al-ikhlas, Alfalaq, Annaas, dan pembukan & penutupan surat Baqarah yang isinya adalah doa.
4. Pembacaan kalimat thayibah (tahlil, tahmid, hauqalah, istighfar, shalawat dan sebagainya).
5. Doa yang berisi Allahumma taqabbal wa aushil tsawaaba maa qara`naahu ilaa ruuhi ALMARHUM .... (Ya Allah terimalah dan sampaikanlah pahala bacaan kami ini kepada ruh Almarhum bapak/ibu .....)
6. Sedekah makanan yang sangat disunnahkan oleh Nabi SAW.
Nah, masalah Tahlilan semacam ini bukanlah masalah aqidah, tetapi hanyalah masalah amaliah furu`iyah, bahkan para pengikut madzhab Syafi`i pun tidak wajib mengikuti pendapat pribadi Imam Syafi`i, tetapi boleh mengikuti pendapat jumhur/mayoritas ulama yang mengatakan sampainya pahala Tahlilan kepada mayit secara otomatis.
Namun, untuk menghormati pendapat Imam Syafi`i, di samping warga madzhab Syafi`i menyakini sampainya bacaan Tahlilan untuk mayit secara otomatis, namun tetap juga perlu dirangkap dengan doa permintaan kepada Allah agar menyampaikan pahala bacaan Tahlilan itu kepada ruh mayit.
Imam Syafi`i menyelisihi guru pribadinya, yaitu Imam Malik dalam urusan boleh tidaknya Baca Basmalah dalam shalat fardhu, hal itu bukan suatu dosa yang dilakukan oleh Imam Syafi`i, karena berselisih dalam urusan amaliah furu`iyah itu hukumnya boleh-boleh saja.
Demikian juga para ulama bermadzhab Syafi`i, mereka menyelisihi pendapat imamnya dalam urusan Bacaan Tahlilan, mereka meyakini sampainya Bacaan Tahlilan secara otomatis kepada mayit, jadi hukumnya boleh-boleh saja dan tidak berdosa, karena hanyalah urusan amaliah furu`iyah, bukan urusan aqidah.
Adapun yang dimaksud AQIDAH itu menurut syariat adalah urusan KETAUHIDAN, contohnya adalah keyakinan dasar terhadap 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Serta keimanan kepada sifat-sifat Allah, sifat-sifat dasar para rasul, khususnya Nabi Muhammad SAW yang ditentukan sebagai Nabi penutup akhir zaman yang tidak ada lagi nabi setelah wafat beliau SAW.
Atau keyakinan tentang kemurnian Alquran yang tidak pernah berubah sedikit pun sejak diturunkan kepada Nabi SAW hingga datang hari Qiamat nanti, dan lain sebagainya.
Maka umat Islam, siapapun adanya tidak diperbolehkan berselisih paham dan berbeda pendapat dalam urusan AQIDAH ini, karena jika ada orang yang berselisih paham dan berbeda pendapat dengan umat Islam dalam urusan AQIDAH atau KETAUHIDAN ini, maka orang tersebut secara otomatis jadi murtad dan keluar dari agama Islam.
Seperti banyaknya bermunculan aliran-aliran sesat akhir-akhir ini, mereka difatwa sesat karena memiliki AQIDAH yang berbeda dengan keyakinan umat Islam mayoritas. Jadi bukan sekedar beda amaliah furu`iyah, tapi sudah masuk wilayah PERBEDAAN AQIDAH atau KETAUHIDAN.