LURAH TURUNAN
Luthfi Bashori
Konon, di jaman Orde Baru era tahun 70 an, tatkala itu kebijakan Pak Harto sebagai presiden banyak yang bertentangan dengan sikap para ulama, sehingga para ulama pun banyak yang merasa tertekan dengan kebijakan politik dalam negeri Pak Harto.
Akibatnya, banyak kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan langkah dakwah para ulama, antara lain larangan pemerintah terhadap ceramah-ceramah agama yang bersifat kritik terhadap pemerintah, sekalipun dengan tujuan membangun kemaslahatan masyarakat Indonesia.
Di sisi lain, para pejabat yang mempertahankan status quo dalam jabatannya, hampir terjadi di semua lini, mulai dari RT, RW, lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, hingga jabatan menteri sangat banyak yang melakukan KKN karena mengikuti langkah presidennya yang ogah diganti, dan kalau pun harus diganti, maka selalu saja jatuh kepada orang-orang terdekatnya.
Seperti juga maraknya pergantian pejabat di era `Repotnasi` akhir-akhir ini yang lebih mengedepankan pelestarian status qou, terbukti munculnya para istri bupati/wali kota di berbagai tempat yang ikut meramaikan `Pilkadal` demi memudahkan upaya mengkadali masyarakat. Bahkan ada anak, keponakan, paman, sepupu, mertua, menantu, istri pertama dan istri ke dua dari para pejabat itu, tidak jarang yang ikut mengincar `warisan tahta jabatan` sebagai upaya pelestarian status quo.
Jika diteliti, mayoritas langkah mereka itu bertujuan bagaimana caranya agar dapat mengamankan proyek-proyek keluarga yang belum terlaksana di saat dirinya menjabat, namun keburu habis masa jabatannya.
Nah, tradisi semacam inilah yang sebenarnya merupakan warisan produk kebijakan pemerintah era tahun 70 an.
Di Situbondo Jawa Timur, yang mayoritas warganya beretnis Madura, konon di-era tahun 70 an itu, ada seorang lurah turunan, maksudnya menjabat jadi lurah karena faktor sang ayah yang sebelumnya menjadi lurah se tempat.
Padahal tinjauan secara IQ, lurah turunan ini di bawah standar rata-rata, namun karena pertimbangan status quo, maka sang ayah memaksakan diri untuk menjadikan anaknya itu sebagai lurah pengganti dirinya dengan berbagai cara, argumen dan trik-trik yang penuh intrik.
Setelah anaknya menjadi lurah, maka ibarat boneka yang dimainkan oleh sang ayah dengan remote kontrol dalam banyak hal, termasuk saat mengambil kebijakan-kebijakan publik. Maklumlah karena sang lurah turunan ini termasuk dari kalangan telmi (telat mikir).
Suatu saat ada kunjungan Bupati yang turba ke desa-desa termasuk ke tempat tinggal lurah turunan itu guna memberikan penyuluhan kepada para lurah, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pusat, antara lain Bupati memberi pengarahan: Kepada para lurah, hendaklah kalian pandai-pandai mencari TEMA dalam menyampaikan kebijakan publik kepada masyarakat...!
Sejak kedatangan sang Bupati, maka lurah turunan itu sering keluar masuk pasar loak untuk mencari biji TIMAH yang biasanya dipergunakan untuk alat patri, atau yang saat ini lebih dikenal dengan istilah alat solder.
Setelah satu bulan berlalu, maka lurah turunan itu berhasil mengumpulkan satu kardus TIMAH, dan iapun berangkat ke kantor kabupaten untuk menyerahkan TIMAH-TIMAH tersebut kepada Bupati.
Tentu saja sang Bupati merasa bingung bahkan tidak mengerti apa maksud lurah turunan itu menyerahkan se kardus timah kepadanya, karena dirinya tidak merasa memesan biji-biji timah itu.
LURAH : Loh, kata Pak Bupati, kan para lurah itu harus pandai-pandai mencari TIMAH dalam menyampaikan kebijakan publik kepada masyarakat. Jadi setiap hari saya keluar masuk pasar loak untuk mencari dan mengumpulkan biji-biji timah ini sesuai dengan pesanan Pak Bupati...!
BUPATI : Oh, maksud saya itu bukan biji TIMAH (yang dalam logat Madura dibaca TEMAH), tetapi pandai-pandailah mencari TEMA alias materi ceramah yang disampaikan dalam kegiatan penyuluhan kepada masyarakat agar tidak bertabrakan dengan kebijakan pemerintah pusat. Begitu...!